Ternyata FABA Bernilai Ekonomis
Jakarta - Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang lebih populer
dengan sebutan limbah atau abu batu bara, berpotensi menjadi primadona baru
dalam pengembangan industri nasional. Pemerintah diminta untuk segera membuat
petunjuk teknis (juknis) pemanfaatan FABA.
Demikian intisari dari Webinar Forum PWI Jaya Series "Mengoptimalkan Manfaat FABA untuk
Pembangunan Ekonomi", yang dilangsungkan Jumat, 9 April 2021. Ketua Umum
PWI Pusat Atal Sembiring Depari menyampaikan sambutannya dari ruang rapat PWI Pusat. Pembukaan resmi
dari seminar dengan topik menarik ini dilakukan oleh Ketua Umum Masyarakat
Ketenagalistrikan Indonesia (MKI),
Wiluyo Kusdwiharto secara virtual.
"Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia mengapresiasi dukungan jajaran PWI atas legalitas yang didapat FABA sebagai limbah yang tidak beracun, sebagaimana sudah ditetapkan oleh pemerintah," ucap Wiluyo Kusdwiharto, yang tak lupa menyapa jajaran pimpinan PWI Provinsi yang juga hadir secara daring.
Sri Andini, Komisaris Utama PT Bukit Pembangkit Inovative, menjadi satu-satunya pembicara yang hadir secara offline di PWI Pusat, antara lain bersama Ketua PWI Jaya Sayid Iskandarsyah dan Irmanto, wakil ketua bidang kesra PWI Jaya yang juga ketua panitia kegiatan Forum PWI Jaya Series ini.
Webinar yang juga disajikan secara live melalui facebook PWI
DKI Jakarta ini menampilkan empat pembicara. Yakni, Sri Andini, Komisaris Utama
PT. Bukit Pembangkit Inovative, Dr.Eng
Januarti Jaya Ekaputri, ST, MT, Dosen ITS,
peneliti pemanfaatan FABA untuk infrastruktur, Dr.Ir.Nani Hendiarti,
M.Sc, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko
Kemaritiman dan Investasi, serta Prof.Dr.Ir.H Fachrurrozie Sjarkowi, M.Sc, Guru
Besar Akademisi Masalah Lingkungan Hidup Universitas Sriwijaya.Diskusi menarik
ini dipandu oleh Brigita Manohara, presenter TvOne.
Webinar Forum PWI Jaya Series "Mengoptimalkan Manfaat
FABA untuk Pembangunan Ekonomi"
diselenggarakan di tengah meningkatnya perhatian tentang daya guna dari
limbah batu bara tersebut. Khususnya setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi)
beberapa waktu lalu menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3).
PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan lampiran 14 PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan,
jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah
B3 adalah fly ash dan bottom ash.
FABA, akronim dari fly ash dan bottom ash, merupakan produk sisa dari pembakaran batu bara. Batu bara yang dibakar itu menghasilkan produk sisa berupa material-material yang 'terbang' dan 'terendapkan', yang terbang itu disebut fly ash, yang mengendap di bawah bottom ash.
Dari penjelasan Ketum MKI Wiluyo Kusdwiharto, FABA kini
semakin menjadi tumpuan untuk mendukung pengembangan industri. Termasuk
industri berat, misalnya di sektor pertahanan. "FABA tak hanya untuk
dijadikan bahan paving-block atau batako, tetapi juga untuk industri-industri
berat seperti bandara, atau konstruksi lainnya," jelas Ketum MKI Wiluyo
Kusdwiharto.
Komisaris Utama PT PT
Bukit Pembangkit Innovative Sri Andini menegaskan, tidak ada satupun negara di
dunia yang mengkategorikan FABA sebagai limbah B3 namun sebagai limbah saja.
FABA dinegara lain, kata dia, telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Sejauh ini, jelas Sri Andini, pihaknya sudah melakukan uji
laboratorium untuk melihat kandungan material yang ada dalam FABA. Melakukan
pemilihan pemanfaatan yaitu sebagai bahan baku pembuatan semen, pembuatan
batako, penurunan air asam tambang di PTBA, penggunaan sebagai material
pengeras jalan dan pembuatan gipsum.
Saat ini baru dua metode pemanfaatan yang dijalankan yaitu
sebagai bahan baku semen baturaja dan pembuatan batako (mesin dan peralatan
sudah ada di lokasi).
Bahkan, kata Sri Andini, pemanfaatan limbah Fly Ash dan
Bottom Ash (FABA) untuk campuran beton bisa menghemat anggaran infrastruktur
sebesar Rp4,3 triliun.
Sementara Nani Hendiarti mengatakan, FABA dari PLTU dan
kegiatan atau industri lainnya yang menggunakan teknologi selain stocker boiler
dikategorikan sebagai Limbah Non-B3.
Oleh karena itu, kata Nani, penghasil FABA tetap dikenakan
kewajiban untuk melakukan pengelolaan limbah Non-B3, dan dilarang melakukan
kegiatan tertentu (seperti mencampur dengan Limbah B3 atau membuang FABA ke
TPA).
Bentuk pengelolaan Limbah Non-B3 atas FABA, kelas Nani,
harus tertuang dalam dokumen persetujuan lingkungan. Pemerintah, kata dia,
tetap mengawasi ketaatan penghasil FABA atas ketentuan dalam persetujuan
lingkungan, yang merupakan dasar penerbitan perizinan berusaha PLTU.
Terhadap FABA yang telah ditetapkan sebagai Limbah Non-B3,
Nani mengatakan, pemerintah mendorong pengelolaannya melalui pemanfaatan untuk
mendukung pembangunan.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan
Kehutanan Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Dr.Ir. Nani Hendiarti, M.Sc,
mengutarakan legalitas FABA sebagai bahan baku pembangunan dan pengembangan
industri.
Dari pemaparan Dr.Eng.Januarti Jaya Ekaputri, ST, MT, di
banyak negara FABA sudah berpotensi menjadi primadona baru dalam pengembangan
industri. Di Indonesia, menurut Dosen ITS yang gigih melakukan penelitian
terkait manfaat FABA ini, potensi abu batu bara juga semakin besar.
Ia bahkan mengibaratkan limbah batu bara yang tidak termasuk
bahan beracun berbahaya (B3) tersebut sebagai Cinderella yang tidak dirindukan.
"FABA ini seperti Cinderella yang sedang menunggu pinangan seorang
pangeran," ungkap .
Januarti Jaya Ekaputri yang biasa disapa Yani memastikan, FABA merupakan limbah padat tak beracun, bahkan di banyak negara limbah ini sudah memberikan manfaat ekonomis bagi warganya. Yani menegaskan, penelitian yang dilakukannya selama ini, FABA setidaknya dapat menghasilkan bahan konstruksi alternatif yaitu menggantikan tanah liat dengan fly ash sebagai bahan pembuatan batu bata merah untuk perusahaan batu bata.
Yani menegaskan, pemanfaatan limbah nonB3 ini sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidi"zed Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan.
Yani menguraikan, FABA juga memenuhi persyaratan teknis
sebagai material yang digunakan untuk produksi material bangunan, mengurangi
polusi dan mengurangi ruang landfill. “Selain untuk bahan konstruksi bangunan,
FABA juga dapat dimanfaatkan untuk perkebunan dan peternakan. Dan semua itu
sudah saya ujicoba sendiri,” kata Yani.
Di beberapa negara, kata dia, FABA juga telah dimanfaatkan
sebagai material konstruksi seperti untuk campuran semen dalam pembangunan
jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas tambang, serta untuk sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan. Bahkan tingkat pemanfaatan FABA di
negara-negara itu sudah cukup tinggi, berkisar antara 44,8 persen - 86 persen
Pengamat masalah lingkungan, Prof.Dr.Ir.H.Fachrurrozie Sjarkowi,
M.Sc, menyatakan, geliat FABA sekarang ini menumbuhkan peluang sekaligus
tantangan. Akademisi dari Unsri, Palembang, memaparkan beberapa hasil risetnya
yang berhubungan dengan FABA. Hasil risetnya, antara lain, melegitimasi
material FABA dapat dimaanfaatkan untuk pengembangan lingkungan. "Material
FABA tidak berbahaya," tegas Fachrurrozie.
"Pemanfaatan FABA untuk bidang manufaktur dan
infrastruktur memang tidak diragukan lagi," tegas Fachrurrozie. Tetapi,
untuk bidang pertanian, masih harus dilakukan riset dan penelitian panjang.(rls)
Tidak ada komentar: