Header Ads

BBC Ads
Breaking News
recent

Tak Diperhatikan, Merapun Ancam Gabung Kutim

Kepala Kampung Merapun, Daring.


KELAY – Kepala Kampung Merapun, Daring, kecewa dengan kebijakan Pemkab Berau yang berencana memindahkan Pos Pemantauan Perbatasan Covid-19 ke Labanan. Padahal sejak awal, pos tersebut sudah semestinya ditempatkan di wilayah perbatasan Berau – Kutai Timur, di Kampung Merapun, Kecamatan Kelay.


“Kalau pos perbatasan dipindahkan ke Labanan, itu sama saja kami tidak dianggap sebagai warga Berau. Lebih baik kami gabung Kutai Timur saja,” tegas Daring. Daring memperlihatkan kekecewaannya dengan serius. Ia mengakui, saat ini pos pemantauan perbatasan masih berjalan, namun sudah tidak maksimal. 

“Saya tidak takut. Saya sampaikan apa adanya. Biar mereka (pemerintah) tahu bagaimana nasib Kelay saat ini. Kami ndak diurus, dibiarkan mati. Sekalian saja bikin pos (pemantauan) di rumah sakit saja. Kecewa betul saya dengan pemerintah daerah kalau seperti ini. Kami dibiarkan mati dulu,” katanya. Menurutnya, jika pos pemantauan perbatasan benar-benar di Labanan, artinya batas wilayah Berau adalah Labanan.

“Sekarang kami pertanyakan, warga Kelay ini mau dikemanakan? Diakui kah tidak? Siapa tahu tidak diakui pas zaman Corona saja, selepas Corona nanti diakui lagi. Kalau sampai pos dipindah ke Labanan, sama saja pemerintah kabupaten tidak bertanggung jawab pada warganya di Kelay,” tegasnya.

Daring kembali berharap agar pos pemantauan perbatasan tetap di Merapun, seperti saat ini.

“Kalau kesulitan masalah dana, alokasi dana desa Rp 3 miliar silakan dipakai. Sebab Rp 3 miliar itu tidak seimbang dengan satu jiwa masyarakat saya,” tegasnya. Namun, bisa-tidaknya dana itu digunakan, dia meminta ada jaminan dari pemerintah.

Menurutnya, tidak masalah dana desa Rp 3 miliar habis untuk membantu penanganan Corona. “Ngga papa setahun ngga ada pembangunan, yang penting warga saya selamat. Dibandingkan kalau begini, siapa yang tanggung jawab?” tanyanya.   

Dia mengakui, sempat ada keluhan petugas yang mengatakan lokasi pemantauan perbatasan itu terlalu jauh. “Masa karena alasan jauh, rela mengorbankan masyarakat?” tanyanya.

Daring kemudian menjelaskan, saat pos pemantauan perbatasan di Merapun dibuka untuk pertama kali, semua dana operasional dibantu beberapa perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan ini. Termasuk urusan konsumsi para petugas yang berjaga di pos tersebut.

“Tapi pas ada rapat di kecamatan, ada pejabat yang komentar, katanya memalukan pakai dana pihak ketiga dari perusahaan seperti itu. Disetop saja. Katanya di BPBD ada dananya. Begitu diambil alih, pemerintah, sejak saat itu konsumsi petugas tersendat. Sampai warung pun tidak terbayar,” bebernya.

Itu sebabnya, ia meminta pemerintah kabupaten benar-benar bertanggung jawab dan berharap pos pemantauan perbatasan tetap ada di Merapun. “Kalau tidak, biar kami gabung Kutai Timur saja,” ulangnya. (*)

Tidak ada komentar:

BeritaBerau99@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.