Tak Diperhatikan, Merapun Ancam Gabung Kutim
![]() |
Kepala Kampung Merapun, Daring. |
KELAY – Kepala Kampung Merapun, Daring, kecewa dengan
kebijakan Pemkab Berau yang berencana memindahkan Pos Pemantauan Perbatasan
Covid-19 ke Labanan. Padahal sejak awal, pos tersebut sudah semestinya
ditempatkan di wilayah perbatasan Berau – Kutai Timur, di Kampung Merapun,
Kecamatan Kelay.
“Kalau pos perbatasan dipindahkan ke Labanan, itu sama saja
kami tidak dianggap sebagai warga Berau. Lebih baik kami gabung Kutai Timur
saja,” tegas Daring. Daring memperlihatkan kekecewaannya dengan serius. Ia
mengakui, saat ini pos pemantauan perbatasan masih berjalan, namun sudah tidak
maksimal.
“Saya tidak takut. Saya sampaikan apa adanya. Biar mereka
(pemerintah) tahu bagaimana nasib Kelay saat ini. Kami ndak diurus,
dibiarkan mati. Sekalian saja bikin pos (pemantauan) di rumah sakit saja.
Kecewa betul saya dengan pemerintah daerah kalau seperti ini. Kami dibiarkan
mati dulu,” katanya. Menurutnya, jika pos pemantauan perbatasan benar-benar di
Labanan, artinya batas wilayah Berau adalah Labanan.
“Sekarang kami pertanyakan, warga Kelay ini mau dikemanakan?
Diakui kah tidak? Siapa tahu tidak diakui pas zaman Corona saja, selepas
Corona nanti diakui lagi. Kalau sampai pos dipindah ke Labanan, sama saja
pemerintah kabupaten tidak bertanggung jawab pada warganya di Kelay,” tegasnya.
Daring kembali berharap agar pos pemantauan perbatasan tetap
di Merapun, seperti saat ini.
“Kalau kesulitan masalah dana, alokasi dana desa Rp 3 miliar
silakan dipakai. Sebab Rp 3 miliar itu tidak seimbang dengan satu jiwa
masyarakat saya,” tegasnya. Namun, bisa-tidaknya dana itu digunakan, dia
meminta ada jaminan dari pemerintah.
Menurutnya, tidak masalah dana desa Rp 3 miliar habis untuk
membantu penanganan Corona. “Ngga papa setahun ngga ada pembangunan, yang
penting warga saya selamat. Dibandingkan kalau begini, siapa yang tanggung
jawab?” tanyanya.
Dia mengakui, sempat ada keluhan petugas yang mengatakan
lokasi pemantauan perbatasan itu terlalu jauh. “Masa karena alasan jauh, rela
mengorbankan masyarakat?” tanyanya.
Daring kemudian menjelaskan, saat pos pemantauan perbatasan
di Merapun dibuka untuk pertama kali, semua dana operasional dibantu beberapa
perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan ini. Termasuk urusan
konsumsi para petugas yang berjaga di pos tersebut.
“Tapi pas ada rapat di kecamatan, ada pejabat yang komentar,
katanya memalukan pakai dana pihak ketiga dari perusahaan seperti itu. Disetop
saja. Katanya di BPBD ada dananya. Begitu diambil alih, pemerintah, sejak saat
itu konsumsi petugas tersendat. Sampai warung pun tidak terbayar,” bebernya.
Itu sebabnya, ia meminta pemerintah kabupaten benar-benar
bertanggung jawab dan berharap pos pemantauan perbatasan tetap ada di Merapun.
“Kalau tidak, biar kami gabung Kutai Timur saja,” ulangnya. (*)
Tidak ada komentar: