Melawan Corona
Catatan Agus Tantomo
(Wakil Bupati Berau)
NAMANYA
ketika pertama ditemukan, corona. Selanjutnya menjadi coronavirus,
dengan kode medis Covid-19. Asal muasalnya, Wuhan, China. Lebih tepatnya, dari
pasar seafood di ibukota Provinsi Hubei itu. Lebih tepatnya lagi, dari
binatang. Binatang apa? Cukup banyak yang jadi kambing hitam. Kelelawar dan
trenggiling jadi tertuduh utama. Asal muasal sebab belum jelas, akibat sudah
jelas. Flu, demam, sesak napas, pneumonia dan kematian.
Obat? Sebab saja masih belum jelas,
apalagi obat. Kok ada yang sembuh? Kata Menteri Kesehatan RI, bisa sembuh
sendiri. Dengan daya tahan dan kemampuan imunitas tubuh orang yang terjangkit.
Yang pasti, paling tidak sekarang kita tau bagaimana cara virus ini menular
atau bermutasi. Dari manusia ke manusia dan kontak langsung. Penyebarannya
demikian cepat. Sampai sekarang sudah hampir 150 negara yang kena. Dalam waktu
dua setengah bulan. Puluhan ribu yang sudah terinfeksi dan sudah ribuan yang
meninggal.
Hal lain yang juga sudah diketahui
adalah masa inkubasinya, 14 hari. Selain cepat, virus ini juga ternyata
"berani". Semua diserang. Tidak pandang suku, agama, pangkat, jabatan.
Menteri pun kena.
Dunia sekarang kalang kabut menghadapi
sesuatu yang invisible, tidak kasat mata, cepat, berani, mematikan,
belum ada obatnya. Bahan dan info yang kita miliki untuk menghadapinya sangat
terbatas. Cara penularan, simpton dan akibatnya kita sudah tau.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk
mengatasinya dengan keterbatasan info yang kita miliki? Setiap negara dan
daerah mengambil kebijakan dan strategi yang berbeda-beda. China sebagai negara
sumber virus ini diproduksi justru menjadi negara pertama yang berhasil
mengatasinya. Italia dan Korea Selatan jadi negara yang paling parah, baik dari
sisi jumlah yang terinfeksi maupun yang meninggal dunia.
Sekarang kita bisa belajar dari mereka
yang berhasil dan mereka yang gagal.
China berhasil karena berani dan cepat
mengambil keputusan dan tindakan. Dengan cepat dan berani pemerintah China
melokalisir penyebaran virus dengan me-lock down kota-kota yg sudah
terinfeksi. Bukan hanya mengurung warga dalam satu kota, tapi aktivitas warga
juga dibatasi sehingga pilihan warga terpojok pada pilihan tinggal di rumah.
Ini jelas tujuannya. Kalau ada warga yg
terinfeksi, tapi aktivitas warga itu hanya sebatas di rumah saja, maka
kemungkinan penularan hanya sebatas pada orang-orang yang ada di rumah itu
saja. Terlokalisir. Tapi kalau warga dibiarkan melakukan aktivitas di tengah
keramaian, di sekolah, kantor, tempat wisata, dan kemudian terinfeksi, maka
akan sangat sulit melakukan pelacakan dengan siapa saja korban pernah
berinteraksi. Kemungkinan besar virus sudah menyebar ke mana-mana. Itu yang
terjadi di Italia. Virus ini dianggap remeh. Tidak ada usaha serius dan nyata
untuk mencegah penyebaran virus. Akibatnya, sekarang Italia terpaksa harus me-lock
down negaranya, bukan lagi kota. Ada 60-an juta orang Italia yg
terkarantina.
Prioritas upaya harus fokus pada
pencegahan dan penyetopan penyebaran virus. Bahkan saat ini, itu lebih penting
daripada pengobatan pasien yang sudah terinfeksi. Menjadi percuma jika berhasil
mengobati satu orang pasien, tapi pasien yang bersangkutan sudah terlanjur
"menularkan" kepada ratusan pasien lainnya.
Anjuran Presiden Jokowi yang meminta
warga untuk melakukan aktivitas di rumah saja, harus dimaknai usaha untuk
mengisolasi penyebaran virus. Keputusan Gubernur Jakarta yang menutup sekolah
juga adalah upaya yang sama dengan anjuran presiden. Sekolah ditutup selama 14
hari, karena itulah masa inkubasi virus ini.
Tapi akan menjadi masalah kalau kita
gagal paham terhadap kebijakan dan anjuran itu. Contoh gagal paham, penutupan
sekolah dianggap liburan. Padahal agar tidak ada massa yang mengumpul. Mereka
tidak ngumpul di sekolah, tapi ngumpul liburan di tempat wisata. Ini namanya,
memindahkan masalah. Sekolah tidak diliburkan, tapi dipindahkan. Dari yang
tadinya belajar di sekolah, menjadi di rumah. Begitu juga ketika ada kantor
yang mengambil keputusan karyawan tidak usah masuk kantor. Itu bukan berarti
liburan. Tapi pindah kerja dari kantor ke rumah. Tetap kerja.
Ingat, yg dihindari adalah kerumunan
orang. Itu sebabnya Masjidil Haram pun ditutup. Bayangkan, kalau seorang
terinfeksi virus corona setelah habis melaksanakan umrah. Bagaimana melacak
dengan orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya.
***
Jumat lalu, tanggal 13 Maret, saya
bertemu dengan 4 orang penting di Jakarta. Pengusaha kondang, pak Yusuf Hamka,
Menko Ekuin Pak Airlangga, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang dan Mendag Agus
Suparmanto. Setelah salat Jumat bersama-sama kami ngobrol sebentar. Ketika
bertemu dan berpisah, saya karena begitu akrab dengan Pak Yusuf kami bersalaman
dan cipika cipiki. Dengan Pak Airlangga, saya dijabat erat. Dengan Pak Agus
Suparmanto, asal salaman. Setengah hati. Dengan pak Agus Gumiwang, tidak
salaman, hanya saling menyentuhkan siku tangan.
Sabtu, sehari setelahnya, terdengar berita Menhub Budi Karya positif corona. Beberapa hari sebelumnya, ada rapat terbatas kabinet yang dihadiri Menhub dan ketiga menteri di atas. Sekarang semua menteri di kabinet sedang dilakukan tes corona. Kalau ketiga menteri yang saya jumpai hari Jumat itu ada yang positif, semoga tidak, maka saya sebagai orang yang pernah berinteraksi langsung dengan mereka akan masuk dalam kategori pasien dalam pengawasan (PDP). Sehingga, sekarang perlu dipahami, ketika ada yg tidak bersalaman dan berpelukan ketika bertemu, itu selain karena takut tertular, juga takut menularkan.
Orang yang sudah terinfeksi virus corona memang tidak langsung menyadari bahwa dirinya sudah terinfeksi. Maka selain mengubah cara berinteraksi, juga harus menghindari kerumunan massa. Sangat bijak kalau sekarang saatnya menunda atau membatalkan acara-acara yang membuat massa berkerumun. Apapun tema acara itu. Mencegah lebih baik. Kata Pak Jusuf Kalla, lebih baik kita sibuk sekarang daripada nanti disibukkan di rumah sakit dan mengantar ke kuburan.
Kewenangan pencegahan itu sekarang ada pada pejabat publik. Bupati, walikota, gubernur, menteri dan presiden. Beberapa di antaranya sudah berani dan cepat memutuskan. Karena, memang itu "obat" melawan corona. Kita harus lebih berani dan lebih cepat dari corona. Semoga kita semua selamat dari cobaan ini. **
Tidak ada komentar: